Selamat datang di COSTING & MANAJEMEN PRODUKSI

Blog ini didedikasikan untuk para pemerhati dan praktisi dalam masalah cost, managerial accounting serta manajemen produksi. Satu disiplin ilmu yang saling terkait dalam perusahaan manufaktur. Disajikan dengan format tulisan yang populer dan ringan. Namun diusahakan untuk tidak kehilangan nilai pengetahuannya.

Sabtu, 30 Agustus 2008

Kekeliruan-kekeliruan Pemahaman Lean Manufacturing


Selama satu dasawarsa ini, banyak perusahaan di Indonesia dan dunia yang terpikat dengan konsep Lean. Bagaimana tidak, Toyota Motor Company yang merupakan pionir dari konsep ini menunjukkan prestasi yang gilang gemilang dalam pembukuan profit. Melampau pemegang tahta otomotif tradisional dari Barat seperti General Motor, Daimler Crysler, serta Ford. Prestasi Toyota ini seakan-akan membangkitkan kembali eporia Perang Kirin 1905 yang dimenangkan oleh Jepang atas Rusia. Bahwa orang-orang Asia yang berperawakan mungil pun ternyata juga sanggup menundukkan bangsa Barat yang bertubuh kekar.

Namun banyak perusahaan yang frustasi karena setelah mereka mencoba Lean Konsep milik Toyota, perbaikan dan prestasi tak kunjung hinggap. Project Lean pun lambat laun terlupa dan berlalu. Perusahaan kembali ke cara lama yang beraktivitas tanpa ada sensitivitas terhadap kenaikan biaya yang tidak memberikan nilai tambah.....

Pendahuluan
Majalah Fortune meberitakan , ditahun 2004 gabungan laba dari General Motor, Ford Motor, Daimler Crysler dan VW Group (kuartet raksasa otomotif Barat yang menduduki posisi produsen nomor, 1, 3, 4, dan 5), ternyata masih belum mampu melampaui laba dari Toyota. Padahal secara kuantitas penjualan Toyota 8,25 Juta unit masih dibawah GM yang mencetak penjualan sebanyak 9,08 juta unit (www.detik.com, 21/12/2005). Jadi walau jumlah penjualan lebih sedikit, profitabilitas Toyota justru bisa lebih tinggi di jagad otomotif dunia. Sebabnya, karena Toyota mampu memproduksi dengan biaya lebih rendah dengan menghilangkan terus menerus pekerjaan yang tidak memberi nilai tambah (pemborosan).

Kini Toyota sudah bisa memanen hasil dari Toyota production system (TPS) yang mulai dibangunnya pasca kekalahan Jepang di Perang Dunia II. Walau hal ini sempat diselingi dengan krisis finansial, ancaman kebangkrutan dan problem perburuhan di tahun 1950-an.

Success story TPS ini, membuat banyak perusahaan tergiur untuk menerapkannya pula. Dari pengalaman penulis yang berkecimpung dengan inventory yang dikelola dengan sistem TPS, terdapa mispersepsi atau kekeliruan pemahaman saat TPS akan diterakann. Antara lain :

Resistensi Manajemen
Hal yang paling utama dalam penerapan TPS adalah komitmen yang sungguh-sungguh dari manajemen. Komitmen ini harus ditunjukkan dengan cara manajemen memfasilitasi dan mengawal dari awal implementasi TPS. Namun seringkali manajemen bertindak selaku hakim. Sehingga ketika implementasi berjalan tersendat-sendat, manajemen justru mencari kambing hitam, bukan memfasilitasi agar problem teratasi.

Kadangkala manajemen juga gagal membedakan antara implementasi TPS/kaizen dengan inovasi. Masaki Imai (1997), penulis buku tentang kaizen dan TPS mengungkapkan perbedaan yang mendasar antara kaizen/TPS dengan inovasi. Menurutnya inovasi seringkali membutuhkan biaya besar untuk investasi peralatan mutakhir dalam mengurangi defect. Namun hasilnya seringkali membawa efek samping. Misalnya pemutusan hubungan kerja karyawan, bunga bank yang tinggi dan sebagainya. Namun kaizen/TPS adalah pendekatan holistic dengan resiko rendah berbiaya kecil. Tapi harus dilakukan terus menerus tanpa henti. Jadi implementasi TPS tidak selalu menggunakan peralatan IT yang canggih dan jasa konsultan yang mahal.

Pemahaman yang Keliru tentang Konsep TPS
Banyak sekali manajemen yang menyamakan TPS dengan konsep standard mutu atau ISO. Dalam TPS tidak ada sertifikasi yang diberikan sebagai penghargaan seperti ISO, sehingga keberhasilan TPS tergantung dari internal perusahaan itu sendiri. Keseriusan implementasi TPS akhirnya harus dimunculkan sendiri oleh perusahaan. Untuk itu penerapan TPS harus melibatkan semua elemen perusahaan. Komite TPS yang dibentuk manajemen hanya bertindak sebagai kordinator saja, bukan pelaku. Agar berwibawa, komite sebaiknya diisi manajer senior. Bukan karyawan fresh graduate yang direkrut. Karena biasanya mereka belum sepenuhnya memahami seluk beluk proses bisnis perusahaan.

Disamping itu keberhasilan TPS tidak bisa hanya diukur dalam rentang waktu yang pendek (satu hingga tiga tahun) sebagaimana sertifikasi ISO. Jadi implementasi TPS tidak bisa dikatakan gagal jika dalam jangka waktu pendek masih berjalan terseok-seok. Justru ini adalah ladang perbaikan agar dapat menjadi lebih baik sesuai dengan standard customer. Toyota saja baru merasakan manfaat yang besar dari TPS ini setelah lebih dari duapuluh tahun menerapkannya serta melakukan perbaikan terus menerus hinggai kini.

Terlalu Terpaku pada Literatur TPS dan Success Story Perusahaan Lain
29 Maret 2001, PT Kadera-AR, satu-satunya pemasok jok mobil bagi Toyota Astra Motor (TAM) menutup pariknya akibat pemogokan buruh. Pasokan jok ke Toyota pun terhenti. Tak pelak lagi, 1000 unit produksi Toyota tidak bisa dikirim ke dealer. ”Dari pesanan 6.500 unit, kami hanya bisa memenuhi 5.000 unit. Sisanya terpaksa ditunda sampai bulan April,” kata Vice President TAM Aminudin (EDISI 33/V 14 Mei 2001 Kontan-Online). Belajar dari hal tersebut, kini PT. TMMIN (dulu TAM) telah memiliki lebih dari satu supplier jok mobil.

Didalam beberapa literature TPS memang disebutkan untuk mengusahakan memilih supplier tunggal atau sole supplier yang diikat dengan kontak jangka panjang dalam area regional tertentu. ( Schonberger, 1987; Zenz, Gary J., 1994). Di negeri Sakura sana hal ini sangat mudah dilakukan karena sistem dan infrastruktu yang sudah berjalan rapi. Pabrik supplier juga letaknya masih dalam Toyota City, sama dengan Toyota.

Ini tidak mudah dilakukan di Indonesia dengan kondisi infrastruktur dan sosial politik yang tidak selalu stabil.Lebih bijak rasanya untuk memiliki multi supplier sebagai tindakan preventif jika salah satu supplier bermasalah, disamping itu akan membuat supplier tersebu bersaing menurunkan biaya. Ini jelas senadas dengan yang dikatakan oleh Kiichiro Toyoda, CEO generasi kedua Toyota yang berujar :

“Kita akan mempelajari teknik produksi dari metode produksi massal Amerika. Tapi kita tidak akan menjiplaknya mentah-mentah. Kita harus menggunakan penelitian dan kreativitas kita sendiri untuk mengembangkan suatu metode produksi yang cocok untuk situasi negeri kita sendiri" (Taiichi Ohno, 1978).

Keengganan membagi informasi kepada karyawan dan pemasok adalah dua hal yang cukup berpengaruh dalam keberhasilan TPS. Namun manajemen justru sering menutup informasi yang dibutuhkan oleh karyawan dan supplier untuk meningkatkan performancenya dengan alasan confidential serta rahasia dapur perusahaan. Ini justru kontra produktif. Berbeda dengan sistem Ford dimana manejemen lah yang punya otoritas menghentikan produksi,dalam TPS, karyawan (operator) justru diberi otoritas untuk menghentikan produksi manakala terjadi defect. Jadi tidak ada pilihan lain, operator harus di training dan dibekali pengetahuan yan luas tentang produksi. Jika tidak, apa bedanya TPS dengan sistem yang lain ?

Demikian pula untuk supplier. Perusahaan menginginkan supplier dapat mengirim barang yang baik, on time dan jumlahnya sesuai dengan yang permintaan. Ini bukan hal yang sederhana buat supplier. Perusahaan justru yang harus membantu supplier . Dengan cara tidak pelit membagi informasi yang dibutuhkan supplier untuk meningkatkan performanya. Bantuan ini termasuk juga bantuan teknologi maupun konsultasi implementasi TPS. Pasokan barang yang lancar, tentu membua kelancaran produksi menjadi lebih ringan. Namun dalam kenyataannya. Perusahaan sering merasa informasi itu adalah dapur perusahaan dan rahasia. Lalu enggan membaginya ke supplier.

Namun harap diingat, ini berkonsekuensi pada saat supplier menghadapi masalah, perusahan akan terkena imbasnya juga. Sehinga jelas ini akan membuat perusahaan mengalami kerugian, selain tentu saja supplier. Masih menganggap infomasi sebagai rahasia pribadi ?

Terlalu Rigid dalam Hal-hal Teknis
Saat menghitung berapa kartu kanban yang dibutuhkan dalam produksi, kadangkala komite TPS terlalu rigid menghitungnya. Akibatnya dibutuhkan historical dan statistical data yang lengkap tentang perkiraan permintaan harian customer, lead time, lot size, buffer stock dan sebagainya. Namun data ini tidak selalu mudah didapat. Diperlukan usaha ekstra mengunpulkannya. Ini tentu memakan waktu yang panjang. Padahal sebenarnya jumlah kanban bisa ditentukan secara kasar saja, tidak perlu terlalu rigid. Sambil TPS berjalan, jumlah kanban ini dapat diimprovement terus menerus. Hingga bisa didapat jumlah kanban yan ideal sesuai dengan skedul pengiriman barang ke customer.
Tulisan ini pernah dimuat pada Newsletter Indonesia Production and Operation Management Society (IPOMS) Volume 2 No. 1 Mei 2006

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah serius amat.tp bgs, walau aku rada buta masalah yang ditulis. sukses selalu..

salam,

enny r.a