Selamat datang di COSTING & MANAJEMEN PRODUKSI

Blog ini didedikasikan untuk para pemerhati dan praktisi dalam masalah cost, managerial accounting serta manajemen produksi. Satu disiplin ilmu yang saling terkait dalam perusahaan manufaktur. Disajikan dengan format tulisan yang populer dan ringan. Namun diusahakan untuk tidak kehilangan nilai pengetahuannya.

Sabtu, 30 Agustus 2008

Kaizen dan Dialektika dengan Nilai-nilai Kearifan Lokal

Manakala konsep improvement yang telah diterapkan tak jua memberikan hasil, seringkala masalah budaya menjadi kambing hitamnya. Produktivitas orang Indonesia dianggap tidak akan mampu melampau penduduk di negara maju. Disebabkan tabiat bangsa Indonesia yang malas, prinsip alon-alon waton kelakon, penuh basi-basi dan tidak tegas. Namun apakah memang demikian ? Tak adakah sisi baik dari budaya kita yang bisa dieksplore untuk meningkatkan produktivitas perusahaan ?

Dalam sebuah seminar, almarhum Noercholish Madjid pernah berujar bahwa yang dinamakan pembaharuan atau transformasi sosial itu adalah mengambil yang baik-baik dari luar dan mengawinkannya dengan yang baik-baik dari dalam kita sendiri. Menolak yang buruk-burk dari luar dan sekaligus juga membuang yang buruk-buruk dari diri kita sendiri.

Sederhana dan normatif memang. namun pada kenyataannya sangatlah sukar melakukannya. Karena kita sering gagal mengidentifikasi yang baik-baik dari luar itu apa. Serta kita juga sering gagal menggali yang baik-baik dari kita itu apa. Spirit Just in Time dan on time delivery misalnya.

Konon jauh beberapa abad silam (tahun 1222) Ken Arok Raja Singosari sudah mengenal dan melakukannya. Kita ingat bagaimana Marahnya Ken Arok kepada Mpu Gandring manakala wan prestasi, gagal menyerahkan senjata (keris ?) pesanan Ken Arok tepat waktu. Akibatnya dengan keris yang belum selesai itu dibunuhlah Mpu Gandring oleh Ken Arok. Menjelang sakratul maut, dengan nafas tinggal satu dua Mpu Gandring masih sempat mengeluarkan kutukannya yang melegenda itu terhadap Ken Arok. Bahwa sang pembunuh dan tujuh turunannya akan mati pula dengan keris tersebut. Mengapa Ken Arok bisa semarah itu terhadap tidak tepat waktunya Mpu Gandring ? tidak lain karena hal ini akan merusak jadwal dan rencana yang yang telah rapi disusunnya untuk melakukan kudeta terhadap Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung.

Jika kita kaitkan dengan perusahaan, maka kegagalan perusahaan untuk tepat waktu delivery customer (yang diakibatkan juga dari produksi yang tidak Just in Time) maka akan merusak planning customer. Ini adalah salah satu bentuk customer satisfaction yang gagal. Sebab ketidaktepatan waktu itu akan menyebakan naiknya biaya. Dan ini adalah bentuk pemborosan (Muda). Muda adalah peningkatan aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah.

Pada tahun 1629 Sultan Agung Raja Mataram sudah berfikir tentang Supply Chain Management. Belajar dari kegagalan serangan pertama (tahun 1628) terhadap VOC di Batavia, Sultan Agung lalu mendirikan lumbung-lumbung padi di sepanjang jalur perjalanan Prajurit Mataram dari Kotagede (Yogyakarta) ke Batavia. Melewati Wates, Purworejo, Kebumen, Purwokerto, Cirebon, Indramayu, Karawang, Bekasi. Sebab kekalahan serangan pertama disebabkan oleh pasokan logistik yang terbatas. Dengan adanya lumbung-lumbung padi tersebut, kebutuhan logistik perang dapat setiap saat dipenuhi, tanpa harus menunggu kiriman dari ibu kota kerajaan (Kotagede). Atau tanpa sedari awal membawa persedian makanan dalam jumlah besar dari Kotagede yang tentu saja menguras tenaga (pemborosan).
Ini jelas analog dengan distribusion management dalam konsep supply chain management (SCM). Namun sayang rencana ini tercium oleh VOC. Pada saat Sultan Agung melakukan serangan kedua, VOC membakar lumbung-lumbung padi tersebut. Serangan kedua pun kembali gagal. Tak puas semua itu, serangan ketiga pun lalu dipersiapkan. Namun sayang Sultan Agung keburu mangkat. Penerusnya Amangkurat I tidak pernah melanjutkan apa yang sudah dirintis ayahnya. Namun justru berkolaborasi dan tunduk terhadap dominasi VOC.

Jika penerapan TPS atau Lean manufacturing di Indonesia tidak begitu menggembirakan, maka stereotif orang Indonesia itu malas, lelet, suka ngaret, dan lain-lain bukanlah alasannya. Karena budaya bangsa kita pun tidak mengajarkan demikian. Banyak faktor penyebabnya diantaranya masalah ekonomi, sosial dan politik. Faktor ekonomi misalnya sangat timpangnya kesejahteraan buruh di Indonesia dan Jepang. Sehingga asupan gizi tak memadai. Bagaimana mungkin buruh pabrik-pabrik tekstil itu akan sangat produktif dan masuk pasca istirahat tepat waktu jika mereka makan siang saja harus harus antri panjang dan nongkrong di pinggi-pinggi jalan yang tentu saja selain habis waktunya untuk antri, juga kualitas makanan tak bisa dipertanggungjawabkan higienitasnya. Dan management hanya menutup mata saja dengan hal ini.

Dalam faktor sosial politik misalnya, bangsa ini seringkali gagal menerapkan azas meritokrasi dengan fair. Masih banyak karyawan yang mengalami diskriminasi gaji dan remunerasi/karir hanya karena berbeda ras/suku/agama dengan pemimpin atau pemilik perusahaannya. Manajemen jika bicara produktivitas selalu mengacu pada perusahaan kelas dunia semacam Toyota, Microsoft, dll. Namun ketika bicara benefit bagi karyawannya selalu mengacu pada UMR (bahkan seringkali dibawahnya) yang sangt tipis sekali dengan kebutuhan hidup layak minimum. Apakah ini bukan standard ganda ? Ini berarti management tidak memilki dan menjalankan prinsip respect to other people, salah satu prinsip yang harus ada dalam melakukan kaizen. Sebab secara improvement akan mendapat dukungan yang luas dari karyawan manakala hal itu memberikan perbaikan bagi hidup dan karir mereka.

Jadi ketika akan menerapkan TPS/Lean Manufacturing atau konsep apapun yang memumpuni dari negara lain untuk diterapkan di kantor, jangan pernah bermimpi kita akan menyamai Toyota Jepang atau Motorolla Amerika misalnya. Akan lebih bijak misalnya dalam menerapkan konsep-konsep management dari luar tadi diiringi perkawinan dengan penggalian kearifan nilai-nilai lokal. Sehingga konsep-konsep tersebut menjadi membumi. Jika kita silau dengan performance Toyota saat ini, sadarilah bahwa itu memerlukan proses yang bertahun-tahun dan berdarah-darah. Tahun limapuluhan Toyota dihinggapi krisis finansial dan perburuhan yang hebat. Yang menyebabkan lengsernya Pemimpin generasi kedua Toyota, Kiichiro Toyoda. Bahkan pada awal-awal pasca perang Dunia II, performance karyawan Toyota lebih rendah 9 kali dari karyawan perusahaan Amerika. Kalau sekarang mereka bisa seperti ini, itu karena mereka sudah melakukan perbaikan ribuan hingga jutaan kali. baik itu perbaikan kecil, hingga perbaikan yang besar. Dan itu memakan waktu puluhan tahun, kearifan dan kerja keras.

Jadi janganlah berkecil hati jika dalam dua atau tiga tahun menerapkan TPS, perusahaan tak juga kunjung mengkilap performancenya. TPS bukan sekedar tools, tapi dia juga sebagai kultur dan konsep manajemen total. Lebih dari itu TPS bukanlah sebuah sistem/alat untuk menjiplak kesuksesan suatu company ke company lainnya, kesuksesan sebuah negara ke negara lainnya. Di dalam TPS membutuhkan komitmen sepenuh hati terutama dari level management tertinggi, dan partisipasi aktif dari keseluruhan karyawan. TPS adalah sebuah evolusi (perbaikan terus menerus), dan bukanlah revolusi (Proses sekali jadi). Ia bukanlah sebuah hasil kerja setahun dua tahun. Ataupun buah kerja semalam bak mitos legenda Jaka Bandung. TPS membutuhkan management yang sabar, bukan management yang tempramental yang hanya mau melihat hasil tanpa mau peduli pada proses yang intensif.
Tulisan ini pernah dibahas cukup intens di milis APICS-ID@yahoogroups.com

Tidak ada komentar: