Selamat datang di COSTING & MANAJEMEN PRODUKSI

Blog ini didedikasikan untuk para pemerhati dan praktisi dalam masalah cost, managerial accounting serta manajemen produksi. Satu disiplin ilmu yang saling terkait dalam perusahaan manufaktur. Disajikan dengan format tulisan yang populer dan ringan. Namun diusahakan untuk tidak kehilangan nilai pengetahuannya.

Sabtu, 06 September 2008

Keputusan Membuat atau Membeli : Hanya Faktor Financial ?



Pendahuluan

PT ABC dihadapkan pada dua pilihan ketika akan memproduksi barang X. Membeli dari supplier lain dengan harga Rp 5,500 atau memproduksi sendiri dengan perkiraan biaya sebesar Rp 5,250. AkhirnyaPT ABC memutuskan untuk memproduksi sendiri. Karena memang secara finansial itu yang lebih menguntungkan sebesar Rp 250 per unit.

Dalam aktivitas manufaktur, seringkali manajemen dihadapkan pilihan-pilihan jangka pendek dalam usaha untuk meningkatkan laba. Salah satunya adalah pilihan untuk memproduksi sendiri barang yang dipesan oleh customer (ataupun untuk memproses lebih lanjut sendiri barang yang dipesan). Atau Perusahaan mengorderkan kembali barang tersebut ke perusahaan lain (outsourcing). Berbagai hal dipertimbangkan untuk menentukan mana yang akan digunakan. Pada akhirnya, opsi mana yang paling murah lah yang biasanya akan dipilih seperti yang tercuplik dalam paragraf diawal tulisan ini.

Namun ternyata dalam kenyataannya tidak selalu opsi mana yang paling murah akan menjadi pilihan. Pemaparan-pemaparan dibawah ini akan menunjukkan mengapa faktor mana yang termurah bukan pilihan utama. Banyak faktor non finansial (kualitatif) akhirnya yang menjadi penentu keputusan yang akan diambil oleh manajemen.

Komponen-kompenen Biaya dalam Make or Buy Decision
Keputusan membuat atau membeli suatu barang dalam perusahaan manufaktur adalah salah satu keputusan yang strategis. Ini disebabkan karena terkait dengan utilitas kapasitas alat-alat produksi yang dimiliki dan profitabilitas yang ingin diharapkan oleh perusahaan. Jangan sampai terjadi, perusahaan membeli barang dari supplier, padahal kapasitas alat produksi masih minimum. Atau jangan sampai perusahaan memaksakan membuat sendiri barang yang kita butuhkan lalu menolak pesanan dari customer lain dikarenakan kapasitas mesin kita sudah terpakai. Padahal order tersebut justru memiliki peluang laba yang lebih tinggi. Karenanya perusahaan perlu juga memikirkan opsi untuk untuk mensubkontrakkan barang yang diproduksi sendiri itu, sembari menerima pesanan yang ditawarkan oleh customer baru tadi. Untuk itu analisa yang mendalam terhadap opsi membuat atau membeli ini perlu dilakukan dengan seksama.

Untuk melakukan analisa terhadap pilihan membuat ataupun membeli, manajemen biasanya memperhitungkan beberapa informasi biaya-biaya yang terkait. Informasi biaya-biaya tersebut adalah :

Informasi Biaya Differensial
Informasi biaya differensial ini adalah bagian dari informasi akuntansi manajemen yang berkaitan dengan keputusan manajemen untuk melakukan pemilihan alternatif strategis masa depan yang berkaitan dengan perbedaan biaya yang dikeluarkan, pendapatan yang akan didapat dan penurunan atau peningkatan kekayaan perusaaan (aktiva). Jadi bisa dikatakan, hal-hal yang diperhitungkan dalam penentuan membuat sendiri atau membeli ini , baik hal-hal yang terjadi ataupun yang tidak akan terjadi jika salah satu alternatif dipilih, adalah informasi biaya differensial.

Informasi Biaya Relevan
Informasi biaya relevan adalah bagian dari informasi biaya differensial yang menelaah biaya-biaya apa saja yang sesuai untuk diperhitungkan jika salah satu pailihan strategis diambil. Dalam keputusan untuk membuat atau membeli, informasi biaya relevan ini berbentuk biaya-biaya apa saja yang tejadi jika kita akan membuat suatu barang.

Begitu juga jika pilihan membeli yang diperhitungkan, maka biaya relevan adalah biaya-biaya apa saja yang terjadi jika kita akan membeli suatu barang. Misalnya harga pembelian, biaya pemesanan, biaya angkut dan bongkar muat barang, biaya administrasi surat menyurat, biaya import barang, dan sebagainya. Untuk memudahkan analisa, biasanya biaya-biaya terjadi ini disatukan dalam pos harga pembelian atau harga perolehan barang yang dibeli.

Informasi Biaya Tidak Relevan
Informasi biaya yang tidak relevan adalah informasi biaya yang terjadi dalam proses produksi, namun sebenarnya tidak ada kaitannya dalam pemilihan keputusan strategis. Artinya, opsi manapun yang akan dipilih (dalam hal ini membuat atau membeli), biaya ini akan tetap terjadi. Misalnya biaya depresiasi, gaji manager PPIC dan lain-lain. Karenanya pada saat melakukan analisa mempertimbangkan keputusan membuat atau memproduksi sendiri, biaya ini harus dikeluarkan lebih dahulu. Sehingga tidak termasuk dalam perhitungan biaya produksi sendiri.

Informasi Biaya Variabel
Informasi biaya variabel adalah informasi biaya yang sebanding dengan perubahan (naik turunnya) volume barang yang akan diproduksi. Biaya variabel ini bisa berupa biaya bahan baku langsung, biaya tenaga kerja langsung ataupun biaya overhead pabrik atau FOH (Contohnya adalah biaya listrik, pemakaian air, dan sebagainya). Informasi biaya ini harus disertakan dalam informasi biaya yang berkaitan dengan keputusan membuat atau membeli. Sebab biaya variabel ini adalah salah satu inti dari komposisi biaya produksi (komponen biaya dalam opsi membuat sendiri).

Informasi Biaya Tetap
Informasi biaya tetap merupakan informasi biaya yang jumlahnya tidak terkait dengan perubahan volume barang yang diproduksi. Biaya tetap ini dapat terkait atau relevan dengan keputusan untuk membuat atau membeli, namun bisa juga tidak terkait. Sehingga apapun opsi yang dipilih, biaya ini akan tetap terjadi (tak terhindarkan.).

Biaya tetap yang terkait dengan keputusan membuat atau membeli misalnya biaya sewa cetakan (dies) mesin produksi, Biaya pembuatan jig atau alat bantu proses produksi, biaya uji coba awal produksi dan sebagainya. Biaya ini akan terjadi jika keputusan membuat sendiri diambil. Namun terjadinya hanya saat awal produksi dan tidak terkait berapa banyak volume barang dibuat. Jadi berapa pun kuantitas yang akan dibuat, biaya ini tidak berubah. Sehingga, untuk pembebanan per unitnya berupa perkiraan umur berdasarkan jam pemakaiannya, perkiraan kuantitas yang akan dihasilkan, ataupun berdasarkan tarif alokasi.

Sedangkan biaya tetap yang tidak terkait dengan keputusan membuat atau membeli misalnya adalah gaji staf manjerial pabrik, biaya depresiasi, dan lain-lain. Namun pada kenyataannya keputusan yang diambil oleh manajemen tidak semata-mata hanya sebatas pilihan mana yang lebih memberi keuntungan finansial yang terbesar. Ada beberapa pertimbangan lain yang non finansial yang seringkali justru menjadi pertimbangan utama. Pemaparan berikut ini akan menjelaskan pertimbangan lain yang digunakan manajemen tersebut ketika memutuskan pilihan membuat sendiri atau membeli.

Product Life Cycle Pendek, Trend Model Barang akan Berubah
Untuk memenuhi permintaan customer, kadangkala kapasitas mesin produksi kita tidak mencukupi, sehingga ada pilihan untuk menambah kapasitas produksi dengan cara investasi mesin baru. Namun manajemen harus memperhitungkan kembali opsi investasi ini karena diperkirakan model barang yang dipesan ini akan berubah.

Barang dengan model baru itu nantinya tidak akan bisa diproduksi dengan mesin yang akan dibeli itu. Dengan product life cycle yang yang pendek ini, manajemen sulit mengharapkan tingkat pengembalian dari investasi yang maksimal. Sehingga pilihan hanya tinggal satu, yaitu mengorderkan kembali sisa barang dari kapasitas yang tidak mencukupi tersebut kepada supplier lain yang mempunyai kapasitas yang berlebih.

Sebagai contoh, PT AOA mendapatkan order dari PT ASM untuk membuat produk Kaca Spion Assy, yang salah satu komponenya adalah Stay Mirror yang terbuat dari besi baja dan diproses dengan berbagai jenis mesin pemotong dan bubut. Customer memberikan perkiraan bahwa barang yang dipesan ini hanya berlangsung dua tahun. Sebab setelah itu, trend model kaca spion tidak lagi menggunakan Stay Mirror, tapi cover kaca spion akan langsung menyatu dengan gagangnya yang terbuat dari bahan plastik. Sehingga produksi gagangnya ini tidak lagi menggunakan mesin pemotong dan bubut, namun menggunakan mesin injeksi plastik.

Karenanya jika PT AOA akan melakukan penambahan kapasitas dengan melakukan investasi pembelian mesin pemotong dan bubut tambahan, hanya akan dapat dipergunakan selama dua tahun. Setelah itu mesin akan menganggur. Padahal berdasarkan keputusan manajemen, aktiva tetap yang berupa mesin, harus didepresiasi selama lima tahun. Sehingga pada tahun ketiga hingga kelima, biaya depresiasi mesin potong dan bubut tetap terjadi walaupun tidak ada produksi.

Fasilitas Produksi Mengalami Kerusakan
Kondisi post majeur biasanya tidak bisa dihindari. Tanpa dapat dideteksi, fasilitas produksi yang dimiliki oleh perusahaan tidak dapat berfungsi atau rusak. Sehingga membutuhkan waktu untuk memperbaiki.

Karena permintaan customer sudah dijadwalkan dan tidak bisa ditunda waktunya, perusahaan kemudian mengalihkan produksi barang tersebut kepada supplier lain, walaupun dengan harga yang lebih mahal. Tindakan ini terpaksa dilakukan, karena perusahaan ingin menjaga reputasinya dimata customer sebagai perusahaan yang dapat memproduksi dan mengirim barang tepat waktu. Karena jika barang tersebut gagal dikirim, proses produksi di tempat customer akan menjadi tersendat atau bahkan berhenti sama sekali (line stop). Jika ini sampai terjadi, hal yang terburuk yang akan dialami perusahaan adalah customer mengalihkan ordernya ke perusahaan lain. Sehingga hilang atau berkuranglah sumber pendapatan (revenue) bagi perusahaan untuk mengelola perusahannya agar dapat terus berjalan.

Customer menunjuk Supplier Tertentu untuk Memproduksi Komponen Barang
Kadangkala customer mengorderkan barang yang dibutuhkan kepada perusahaan kita dengan berbagai macam syarat. Salah satu misalnya satu atau beberapa komponen material yang dipakai dalam proses produksi harus dibeli dari supplier tertentu. Persayaratan seperti ini biasanya terjadi karena :
1. Supplier tersebut memiliki reputasi yang baik dalam hal pembuatan komponen yang dibutuhkan untuk produksi. Reputasi tersebut dapat berupa kemampuan memproduksi yang baik dan efisien, juga bisa karena hak paten yang dimiliki
2. Supplier tersebut memiliki hubungan kepemilikan dengan customer. Sehingga dengan dilakukannya pembelian salah satu atau beberapa komponen ini, customer selain mendapatkan laba dan membantu perusahaan lain yang satu grup dengannya, juga bisa mengontrol harga beli produk dari perusahaan kita.

Sehingga dengan kondisi yang seperti ini, perusahaan mau tidak mau harus mengorder komponen yang dibutuhkan itu ke supplier tadi, walau mungkin perusahaan mampu membuat komponen tersebut dengan harga yang lebih murah.

Perusahaan Mengorderkan Kembali ke Perusahaan Affiliasi (Satu Grup)
Perusahaan kadangkala dihadapkan keharusan untuk membantu perusahaan lain yang satu grup atau seafiliasi dengannya. Walau sebenarnya perusahaan mampu membuat sendiri sebagian atau keseluruhan komponen barang yang dipesan oleh customer. Ini dimaksudkan untuk membantu perusahaan itu yang sedang kelebihan kapasitas akibat menurunnya order dan mengurangi bebannya agar tidak sampai mengalami kebangkrutan. Arahan ini biasanya langsung diberikan oleh pimpina perusahaan (CEO). Karena tanpa arahan seperti ini, bagian purchasing biasanya enggan atau tidak berani untuk mengorderkan kembali pesanan barang ini kepada perusahaan affliasi tersebut.

Penutup
Keputusan membuat sendiri atau membeli dari supplier adalah salah satu keputusan strategis jangka pendek yang sering diambil oleh manajemen. Biasanya keputusan yang diambil ini berdasarkan analisa mana yang lebih memberi keuntungan secara finansial. Analisa ini dilakukan dengan membandingkan informasi biaya-biaya yang akan terjadi terhadap dua pilihan ini yang disebut dengan informasi biaya deferensial. Dalam analisa biaya defferensial, informasi biaya yang tidak relevan harus dikeluarkan. Sebab biaya yang tidak relevan itu akan tetap terjadi apapun pilihan yang diambil oleh manajemen.

Namun kadangkala keputusan yang diambil oleh manajemen tidak semata-mata berdasarkan mana yang lebih menguntungkan. Product life cycle yang pendek dan tidak sebanding dengan umur ekonomis dari investasi alat-alat produksi yang dilakukan, fasilitas produksi yang mengalami kerusakan, tekanan dari customer untuk menggunakan produk dari supplier tertentu, dan arahan pemimpin perusahaan untum membantu perusahaan affiliasi adalah hal-hal yang akhirnya membuat keputusan membuat atau membeli itu, tidak semata-mata hanya berdasarkan aspek mana yang lebih menguntungkan saja.

Sabtu, 30 Agustus 2008

Kaizen dan Dialektika dengan Nilai-nilai Kearifan Lokal

Manakala konsep improvement yang telah diterapkan tak jua memberikan hasil, seringkala masalah budaya menjadi kambing hitamnya. Produktivitas orang Indonesia dianggap tidak akan mampu melampau penduduk di negara maju. Disebabkan tabiat bangsa Indonesia yang malas, prinsip alon-alon waton kelakon, penuh basi-basi dan tidak tegas. Namun apakah memang demikian ? Tak adakah sisi baik dari budaya kita yang bisa dieksplore untuk meningkatkan produktivitas perusahaan ?

Dalam sebuah seminar, almarhum Noercholish Madjid pernah berujar bahwa yang dinamakan pembaharuan atau transformasi sosial itu adalah mengambil yang baik-baik dari luar dan mengawinkannya dengan yang baik-baik dari dalam kita sendiri. Menolak yang buruk-burk dari luar dan sekaligus juga membuang yang buruk-buruk dari diri kita sendiri.

Sederhana dan normatif memang. namun pada kenyataannya sangatlah sukar melakukannya. Karena kita sering gagal mengidentifikasi yang baik-baik dari luar itu apa. Serta kita juga sering gagal menggali yang baik-baik dari kita itu apa. Spirit Just in Time dan on time delivery misalnya.

Konon jauh beberapa abad silam (tahun 1222) Ken Arok Raja Singosari sudah mengenal dan melakukannya. Kita ingat bagaimana Marahnya Ken Arok kepada Mpu Gandring manakala wan prestasi, gagal menyerahkan senjata (keris ?) pesanan Ken Arok tepat waktu. Akibatnya dengan keris yang belum selesai itu dibunuhlah Mpu Gandring oleh Ken Arok. Menjelang sakratul maut, dengan nafas tinggal satu dua Mpu Gandring masih sempat mengeluarkan kutukannya yang melegenda itu terhadap Ken Arok. Bahwa sang pembunuh dan tujuh turunannya akan mati pula dengan keris tersebut. Mengapa Ken Arok bisa semarah itu terhadap tidak tepat waktunya Mpu Gandring ? tidak lain karena hal ini akan merusak jadwal dan rencana yang yang telah rapi disusunnya untuk melakukan kudeta terhadap Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung.

Jika kita kaitkan dengan perusahaan, maka kegagalan perusahaan untuk tepat waktu delivery customer (yang diakibatkan juga dari produksi yang tidak Just in Time) maka akan merusak planning customer. Ini adalah salah satu bentuk customer satisfaction yang gagal. Sebab ketidaktepatan waktu itu akan menyebakan naiknya biaya. Dan ini adalah bentuk pemborosan (Muda). Muda adalah peningkatan aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah.

Pada tahun 1629 Sultan Agung Raja Mataram sudah berfikir tentang Supply Chain Management. Belajar dari kegagalan serangan pertama (tahun 1628) terhadap VOC di Batavia, Sultan Agung lalu mendirikan lumbung-lumbung padi di sepanjang jalur perjalanan Prajurit Mataram dari Kotagede (Yogyakarta) ke Batavia. Melewati Wates, Purworejo, Kebumen, Purwokerto, Cirebon, Indramayu, Karawang, Bekasi. Sebab kekalahan serangan pertama disebabkan oleh pasokan logistik yang terbatas. Dengan adanya lumbung-lumbung padi tersebut, kebutuhan logistik perang dapat setiap saat dipenuhi, tanpa harus menunggu kiriman dari ibu kota kerajaan (Kotagede). Atau tanpa sedari awal membawa persedian makanan dalam jumlah besar dari Kotagede yang tentu saja menguras tenaga (pemborosan).
Ini jelas analog dengan distribusion management dalam konsep supply chain management (SCM). Namun sayang rencana ini tercium oleh VOC. Pada saat Sultan Agung melakukan serangan kedua, VOC membakar lumbung-lumbung padi tersebut. Serangan kedua pun kembali gagal. Tak puas semua itu, serangan ketiga pun lalu dipersiapkan. Namun sayang Sultan Agung keburu mangkat. Penerusnya Amangkurat I tidak pernah melanjutkan apa yang sudah dirintis ayahnya. Namun justru berkolaborasi dan tunduk terhadap dominasi VOC.

Jika penerapan TPS atau Lean manufacturing di Indonesia tidak begitu menggembirakan, maka stereotif orang Indonesia itu malas, lelet, suka ngaret, dan lain-lain bukanlah alasannya. Karena budaya bangsa kita pun tidak mengajarkan demikian. Banyak faktor penyebabnya diantaranya masalah ekonomi, sosial dan politik. Faktor ekonomi misalnya sangat timpangnya kesejahteraan buruh di Indonesia dan Jepang. Sehingga asupan gizi tak memadai. Bagaimana mungkin buruh pabrik-pabrik tekstil itu akan sangat produktif dan masuk pasca istirahat tepat waktu jika mereka makan siang saja harus harus antri panjang dan nongkrong di pinggi-pinggi jalan yang tentu saja selain habis waktunya untuk antri, juga kualitas makanan tak bisa dipertanggungjawabkan higienitasnya. Dan management hanya menutup mata saja dengan hal ini.

Dalam faktor sosial politik misalnya, bangsa ini seringkali gagal menerapkan azas meritokrasi dengan fair. Masih banyak karyawan yang mengalami diskriminasi gaji dan remunerasi/karir hanya karena berbeda ras/suku/agama dengan pemimpin atau pemilik perusahaannya. Manajemen jika bicara produktivitas selalu mengacu pada perusahaan kelas dunia semacam Toyota, Microsoft, dll. Namun ketika bicara benefit bagi karyawannya selalu mengacu pada UMR (bahkan seringkali dibawahnya) yang sangt tipis sekali dengan kebutuhan hidup layak minimum. Apakah ini bukan standard ganda ? Ini berarti management tidak memilki dan menjalankan prinsip respect to other people, salah satu prinsip yang harus ada dalam melakukan kaizen. Sebab secara improvement akan mendapat dukungan yang luas dari karyawan manakala hal itu memberikan perbaikan bagi hidup dan karir mereka.

Jadi ketika akan menerapkan TPS/Lean Manufacturing atau konsep apapun yang memumpuni dari negara lain untuk diterapkan di kantor, jangan pernah bermimpi kita akan menyamai Toyota Jepang atau Motorolla Amerika misalnya. Akan lebih bijak misalnya dalam menerapkan konsep-konsep management dari luar tadi diiringi perkawinan dengan penggalian kearifan nilai-nilai lokal. Sehingga konsep-konsep tersebut menjadi membumi. Jika kita silau dengan performance Toyota saat ini, sadarilah bahwa itu memerlukan proses yang bertahun-tahun dan berdarah-darah. Tahun limapuluhan Toyota dihinggapi krisis finansial dan perburuhan yang hebat. Yang menyebabkan lengsernya Pemimpin generasi kedua Toyota, Kiichiro Toyoda. Bahkan pada awal-awal pasca perang Dunia II, performance karyawan Toyota lebih rendah 9 kali dari karyawan perusahaan Amerika. Kalau sekarang mereka bisa seperti ini, itu karena mereka sudah melakukan perbaikan ribuan hingga jutaan kali. baik itu perbaikan kecil, hingga perbaikan yang besar. Dan itu memakan waktu puluhan tahun, kearifan dan kerja keras.

Jadi janganlah berkecil hati jika dalam dua atau tiga tahun menerapkan TPS, perusahaan tak juga kunjung mengkilap performancenya. TPS bukan sekedar tools, tapi dia juga sebagai kultur dan konsep manajemen total. Lebih dari itu TPS bukanlah sebuah sistem/alat untuk menjiplak kesuksesan suatu company ke company lainnya, kesuksesan sebuah negara ke negara lainnya. Di dalam TPS membutuhkan komitmen sepenuh hati terutama dari level management tertinggi, dan partisipasi aktif dari keseluruhan karyawan. TPS adalah sebuah evolusi (perbaikan terus menerus), dan bukanlah revolusi (Proses sekali jadi). Ia bukanlah sebuah hasil kerja setahun dua tahun. Ataupun buah kerja semalam bak mitos legenda Jaka Bandung. TPS membutuhkan management yang sabar, bukan management yang tempramental yang hanya mau melihat hasil tanpa mau peduli pada proses yang intensif.
Tulisan ini pernah dibahas cukup intens di milis APICS-ID@yahoogroups.com

Kekeliruan-kekeliruan Pemahaman Lean Manufacturing


Selama satu dasawarsa ini, banyak perusahaan di Indonesia dan dunia yang terpikat dengan konsep Lean. Bagaimana tidak, Toyota Motor Company yang merupakan pionir dari konsep ini menunjukkan prestasi yang gilang gemilang dalam pembukuan profit. Melampau pemegang tahta otomotif tradisional dari Barat seperti General Motor, Daimler Crysler, serta Ford. Prestasi Toyota ini seakan-akan membangkitkan kembali eporia Perang Kirin 1905 yang dimenangkan oleh Jepang atas Rusia. Bahwa orang-orang Asia yang berperawakan mungil pun ternyata juga sanggup menundukkan bangsa Barat yang bertubuh kekar.

Namun banyak perusahaan yang frustasi karena setelah mereka mencoba Lean Konsep milik Toyota, perbaikan dan prestasi tak kunjung hinggap. Project Lean pun lambat laun terlupa dan berlalu. Perusahaan kembali ke cara lama yang beraktivitas tanpa ada sensitivitas terhadap kenaikan biaya yang tidak memberikan nilai tambah.....

Pendahuluan
Majalah Fortune meberitakan , ditahun 2004 gabungan laba dari General Motor, Ford Motor, Daimler Crysler dan VW Group (kuartet raksasa otomotif Barat yang menduduki posisi produsen nomor, 1, 3, 4, dan 5), ternyata masih belum mampu melampaui laba dari Toyota. Padahal secara kuantitas penjualan Toyota 8,25 Juta unit masih dibawah GM yang mencetak penjualan sebanyak 9,08 juta unit (www.detik.com, 21/12/2005). Jadi walau jumlah penjualan lebih sedikit, profitabilitas Toyota justru bisa lebih tinggi di jagad otomotif dunia. Sebabnya, karena Toyota mampu memproduksi dengan biaya lebih rendah dengan menghilangkan terus menerus pekerjaan yang tidak memberi nilai tambah (pemborosan).

Kini Toyota sudah bisa memanen hasil dari Toyota production system (TPS) yang mulai dibangunnya pasca kekalahan Jepang di Perang Dunia II. Walau hal ini sempat diselingi dengan krisis finansial, ancaman kebangkrutan dan problem perburuhan di tahun 1950-an.

Success story TPS ini, membuat banyak perusahaan tergiur untuk menerapkannya pula. Dari pengalaman penulis yang berkecimpung dengan inventory yang dikelola dengan sistem TPS, terdapa mispersepsi atau kekeliruan pemahaman saat TPS akan diterakann. Antara lain :

Resistensi Manajemen
Hal yang paling utama dalam penerapan TPS adalah komitmen yang sungguh-sungguh dari manajemen. Komitmen ini harus ditunjukkan dengan cara manajemen memfasilitasi dan mengawal dari awal implementasi TPS. Namun seringkali manajemen bertindak selaku hakim. Sehingga ketika implementasi berjalan tersendat-sendat, manajemen justru mencari kambing hitam, bukan memfasilitasi agar problem teratasi.

Kadangkala manajemen juga gagal membedakan antara implementasi TPS/kaizen dengan inovasi. Masaki Imai (1997), penulis buku tentang kaizen dan TPS mengungkapkan perbedaan yang mendasar antara kaizen/TPS dengan inovasi. Menurutnya inovasi seringkali membutuhkan biaya besar untuk investasi peralatan mutakhir dalam mengurangi defect. Namun hasilnya seringkali membawa efek samping. Misalnya pemutusan hubungan kerja karyawan, bunga bank yang tinggi dan sebagainya. Namun kaizen/TPS adalah pendekatan holistic dengan resiko rendah berbiaya kecil. Tapi harus dilakukan terus menerus tanpa henti. Jadi implementasi TPS tidak selalu menggunakan peralatan IT yang canggih dan jasa konsultan yang mahal.

Pemahaman yang Keliru tentang Konsep TPS
Banyak sekali manajemen yang menyamakan TPS dengan konsep standard mutu atau ISO. Dalam TPS tidak ada sertifikasi yang diberikan sebagai penghargaan seperti ISO, sehingga keberhasilan TPS tergantung dari internal perusahaan itu sendiri. Keseriusan implementasi TPS akhirnya harus dimunculkan sendiri oleh perusahaan. Untuk itu penerapan TPS harus melibatkan semua elemen perusahaan. Komite TPS yang dibentuk manajemen hanya bertindak sebagai kordinator saja, bukan pelaku. Agar berwibawa, komite sebaiknya diisi manajer senior. Bukan karyawan fresh graduate yang direkrut. Karena biasanya mereka belum sepenuhnya memahami seluk beluk proses bisnis perusahaan.

Disamping itu keberhasilan TPS tidak bisa hanya diukur dalam rentang waktu yang pendek (satu hingga tiga tahun) sebagaimana sertifikasi ISO. Jadi implementasi TPS tidak bisa dikatakan gagal jika dalam jangka waktu pendek masih berjalan terseok-seok. Justru ini adalah ladang perbaikan agar dapat menjadi lebih baik sesuai dengan standard customer. Toyota saja baru merasakan manfaat yang besar dari TPS ini setelah lebih dari duapuluh tahun menerapkannya serta melakukan perbaikan terus menerus hinggai kini.

Terlalu Terpaku pada Literatur TPS dan Success Story Perusahaan Lain
29 Maret 2001, PT Kadera-AR, satu-satunya pemasok jok mobil bagi Toyota Astra Motor (TAM) menutup pariknya akibat pemogokan buruh. Pasokan jok ke Toyota pun terhenti. Tak pelak lagi, 1000 unit produksi Toyota tidak bisa dikirim ke dealer. ”Dari pesanan 6.500 unit, kami hanya bisa memenuhi 5.000 unit. Sisanya terpaksa ditunda sampai bulan April,” kata Vice President TAM Aminudin (EDISI 33/V 14 Mei 2001 Kontan-Online). Belajar dari hal tersebut, kini PT. TMMIN (dulu TAM) telah memiliki lebih dari satu supplier jok mobil.

Didalam beberapa literature TPS memang disebutkan untuk mengusahakan memilih supplier tunggal atau sole supplier yang diikat dengan kontak jangka panjang dalam area regional tertentu. ( Schonberger, 1987; Zenz, Gary J., 1994). Di negeri Sakura sana hal ini sangat mudah dilakukan karena sistem dan infrastruktu yang sudah berjalan rapi. Pabrik supplier juga letaknya masih dalam Toyota City, sama dengan Toyota.

Ini tidak mudah dilakukan di Indonesia dengan kondisi infrastruktur dan sosial politik yang tidak selalu stabil.Lebih bijak rasanya untuk memiliki multi supplier sebagai tindakan preventif jika salah satu supplier bermasalah, disamping itu akan membuat supplier tersebu bersaing menurunkan biaya. Ini jelas senadas dengan yang dikatakan oleh Kiichiro Toyoda, CEO generasi kedua Toyota yang berujar :

“Kita akan mempelajari teknik produksi dari metode produksi massal Amerika. Tapi kita tidak akan menjiplaknya mentah-mentah. Kita harus menggunakan penelitian dan kreativitas kita sendiri untuk mengembangkan suatu metode produksi yang cocok untuk situasi negeri kita sendiri" (Taiichi Ohno, 1978).

Keengganan membagi informasi kepada karyawan dan pemasok adalah dua hal yang cukup berpengaruh dalam keberhasilan TPS. Namun manajemen justru sering menutup informasi yang dibutuhkan oleh karyawan dan supplier untuk meningkatkan performancenya dengan alasan confidential serta rahasia dapur perusahaan. Ini justru kontra produktif. Berbeda dengan sistem Ford dimana manejemen lah yang punya otoritas menghentikan produksi,dalam TPS, karyawan (operator) justru diberi otoritas untuk menghentikan produksi manakala terjadi defect. Jadi tidak ada pilihan lain, operator harus di training dan dibekali pengetahuan yan luas tentang produksi. Jika tidak, apa bedanya TPS dengan sistem yang lain ?

Demikian pula untuk supplier. Perusahaan menginginkan supplier dapat mengirim barang yang baik, on time dan jumlahnya sesuai dengan yang permintaan. Ini bukan hal yang sederhana buat supplier. Perusahaan justru yang harus membantu supplier . Dengan cara tidak pelit membagi informasi yang dibutuhkan supplier untuk meningkatkan performanya. Bantuan ini termasuk juga bantuan teknologi maupun konsultasi implementasi TPS. Pasokan barang yang lancar, tentu membua kelancaran produksi menjadi lebih ringan. Namun dalam kenyataannya. Perusahaan sering merasa informasi itu adalah dapur perusahaan dan rahasia. Lalu enggan membaginya ke supplier.

Namun harap diingat, ini berkonsekuensi pada saat supplier menghadapi masalah, perusahan akan terkena imbasnya juga. Sehinga jelas ini akan membuat perusahaan mengalami kerugian, selain tentu saja supplier. Masih menganggap infomasi sebagai rahasia pribadi ?

Terlalu Rigid dalam Hal-hal Teknis
Saat menghitung berapa kartu kanban yang dibutuhkan dalam produksi, kadangkala komite TPS terlalu rigid menghitungnya. Akibatnya dibutuhkan historical dan statistical data yang lengkap tentang perkiraan permintaan harian customer, lead time, lot size, buffer stock dan sebagainya. Namun data ini tidak selalu mudah didapat. Diperlukan usaha ekstra mengunpulkannya. Ini tentu memakan waktu yang panjang. Padahal sebenarnya jumlah kanban bisa ditentukan secara kasar saja, tidak perlu terlalu rigid. Sambil TPS berjalan, jumlah kanban ini dapat diimprovement terus menerus. Hingga bisa didapat jumlah kanban yan ideal sesuai dengan skedul pengiriman barang ke customer.
Tulisan ini pernah dimuat pada Newsletter Indonesia Production and Operation Management Society (IPOMS) Volume 2 No. 1 Mei 2006